Dave
Laksono adalah putra Agung Laksono (bekas Ketua DPR) yang, dalam
sejumlah telegram,
digambarkan sebagai “operator politik Agung”. Dia lah
yang menyebutkan kalau dalam sebuah pertemuan dengan Agung pada 5 Juni
2007, Presiden Susilo mengeluhkan kegagalannya membangun benteng bisnis
yang memadai. “Dave – yang tidak mengindikasikan apakah dia turut hadir
dalam diskusi itu – bilang Yudhoyono merasa perlu “mengejar
ketertinggalan” dan berspekulasi kalau Presiden mungkin ingin memastikan
kelak dia bisa mewariskan harta yang cukup besar untuk anak-anaknya.”
Dari
pemeriksaan lebih jauh, Islam Times mendapati kalau dalam kawat ke
Washington, pihak kedutaan juga menerapkan perlakukan berbeda atas
informan mereka di Jakarta. Sebagian mereka sebut begitu saja, nama,
jabatan ataupun profesi lalu informasi yang mereka bisikkan ke pihak
kedutaan. Ini misalnya terjadi pada informan semacam Dave Laksono, T.B.
Silalahim, Yahya Asegaf, Fachri Hamzah, Dzulkiflimansyah dan masih
banyak lagi. Tapi sebagian nama informan lainnya mereka sebut dengan
catatan khusus, “Strictly Protect”, dan sejumlah nama lainnya lagi
mereka beri catatan “Please Protect” dan inilah subjek seri tulisan kali
ini.
Makna “Strictly Protect” & “Please Protect”
Belum ada informasi resmi, dan mungkin tak akan pernah ada, soal apa makna “Strictly Protect”, secara harfiah berarti “Lindungi Ketat”, dan “Please Protect”
(“Tolong Lindungi”) dalam telegram diplomat Amerika. Tapi sebagian
kalangan percaya kalau kedua frase ini ‘sensitif’ dan merujuk pada
orang-orang yang berbicara dalam kerahasiaan dengan pihak kedutaan. Ada
pula yang berpendapat kalau kedua predikat itu berlaku bagi mereka yang
memberi informasi secara reguler dan sensitif dan sebab itu lah kedutaan
meminta Washington menjaganya rapat-rapat.
(Catatan Islam Times: keberadaan frase “Strictly Protect” dan “Please Protect”
dalam telegram telah mendorong pejabat Kementrian Luar Negeri Amerika
Serikat dan kalangan “pegiat hak asasi” menyesalkan keputusan WikiLeaks
memajang telegram tanpa sensor. Mereka bilang pemuatan nama bisa membawa
dampak memukul bagi kalangan aktivis, jurnalis dan tokoh-tokoh
masyarakat sipil yang menjadi informan kedutaan Amerika, utamanya mereka
yang tinggal di negara “otoriter”).
Dari pemeriksaan, Islam Times mendapati kalau frase “Strictly Protect”
ada di setengah lusin lebih telegram dari Kedutaan Amerika di Jakarta
sementara “Please Protect” muncul dalam 38 telegram – dari total 3.059
telegram sekaitan Indonesia sejauh ini. Pemeriksaan lainnya menunjukkan
kalau pada setiap mereka yang berstatus khusus itu punya kisahnya
tersendiri, yang kemudian menjadi bagian dari informasi penting, dan
juga kabar burung, yang dikawatkan para diplomat Amerika di Jakarta ke
bos-bos mereka di Washington.
Berikut nama sejumlah pihak yang dalam telegram diplomat Amerika diberi predikat “Strictly Protect”:
1. Yenny Wahid
Nama
Yenny Wahid muncul di 16 kawat diplomatik, sejauh ini. (Sebagai
perbandingan, “Dave Laksono” muncul di delapan telegram, “Yahya Asagaf”
enam telegram, “T.B Silalahi” 17 telegram dan “Kristiani Yudhoyono”
delapan telegram). Diplomat Amerika umumnya menggambarkan Yenny sebagai
pejabat senior Partai Kebangkitan Bangsa, sekali sebagai staf presiden
(catatan: Yenny memang pernah bekerja sebagai staf Presiden Susilo),
yang membagi banyak cerita, termasuk kisruh dualisme kepemimpinan di
PKB, soal hubungan khusus FPI dan dan pihak-pihak keamanan (polisi dan
intelijen), soal dukungan diam-diam PKB pada pemerintahan Presiden
Susilo (di saat Wahid menampilkan diri di media sebagai musuh presiden)
dan beberapa soal lainnya.
Namun dari semua itu, di sebuah telegram (bertajuk “Indonesian Biographical And Political Gossip, Q2 2006”, dikawatkan dari Jakarta pada 3 Juli 2006 oleh perwira politik kedutaan, David R. Greenberg), frase “strictly protect” muncul setelah penulisan nama Yenny: “Dalam sebuah pertemuan pada Juni, Deputi Sekretaris Jenderal PKB Yenny Wahid (strictly protect)
mengkonfirmasi ke kami kalau orang dekat Yudhoyono yang telah menekan
seorang jaksa untuk menjatuhkan putusan yang merugikan Gus Dur dalam
kasus yang telah disebutkan lebih dulu ... adalah Sekretaris Kabinet
Sudi Silalahi ... .”
2. Eko Sandjojo
Sejauh ini, nama Eko Sandjojo hanya muncul sekali dalam kawat diplomatik: “Indonesian Biographical And Political Gossip, Q2 2006”, dikawatkan dari Jakarta pada 3 Juli 2006 oleh perwira politik kedutaan, David R. Greenberg. Dalam sub judul “PKB BUYS FAVORABLE COURT VERDICT”,
Greenberg menulis: “Orang yang bersimpati pada Tuan Besar Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdurrahman Wahid (alias Gus Dur), membayar
hakim Rp 3 miliar (sekitar US$ 322.000), sebagai sogok guna memenangkan
sebuah persidangan pada 2006, agar hakim memberi wewenangan sah
kepengurusan pada kubu Wahid dan bukan pada musuh-muuhnya. Cerita ini
datang dari Presiden Direktur Sierad, Eko Sandjojo (strictly protect),
yang juga punya hubungan dekat dengan PKB. Eko mengklaim tahu informasi
ini sebab salah seorang pengacara ternama, Soesilo Aribowo, yang juga
bekerja untuk Eko (atau Sierad), telah menyalurkan uang itu ke
hakim-hakim.”
(Catatan Islam Times: PT Sierad Produce Tbk adalah perusahaan pakan ternak yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek Jakarta.)
3. Poempida Hidayatulloh
Nama Peompida muncul di setidaknya sembilan kawat diplomatik. Diplomat Amerika memasang frase “Strictly Protect”
untuk dia saat mengirim kabar berikut ke Washington pada 3 Juni 2006:
“Bekas Komando Kopassus Prabowo Subianto kerap naik penerbangan komersil
ke Bangkok untuk bersua pacarnya, seorang gadis Thailand yang tinggal
di sana, menurut Deputi Bendahara Partai Golkar Poempida Hidayatulloh (strictly protect),
yang sebelumnya punya hubungan dekat dengan Prabowo. Poempida mengklaim
kalau Prabowo telah membuatkan sebuah perusahaan bisnis untuk pacarnya
itu, dan pasangan itu cukup akrab hingga mereka semestinya sudah menikah
andai Prabowo tak mencemaskan dampak berlanjut punya seorang istri
berkewarganegaraan asing pada ambisinya merebut kursi kepresidenan.”
4. S. Eben Kirksey
Telegram
menggambarkan dia adalah “seorang akademisi Amerika” yang ikut menulis
laporan kemungkinan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia dalam kasus
terbunuhnya dua orang warga Amerika dan seorang warga lokal di Timika,
Papua, pada tahun 2002. Saat menuliskan nama Eben dalam telegram,
diplomat Amerika memasang himbauan “please strictly protect”.
Islam
Times mendapati kalau ada cerita besar yang mengiringi masuknya nama
Eben dalam telegram. Sebuah kontroversi yang lain dan ini melibatkan
nama Andreas Harsono, seorang yang dalam telegram digambarkan sebagai
“penulis freelance tersohor”, dan menjadi mitra Eben dalam menulis
laporan kontroversial soal insiden berdarah di Timika. (Catatan
Islam Times: Lebih jauh soal laporan bersama Eben dan Andreas soal
insiden berdarah di Timika, berjudul Murder at Mile 63 bisa dilihat di
http://andreasharsono.blogspot.com/2008_08_01_archive.html dan
http://www.etan.org/news/2007/04mile63.htm)
Telegram bertajuk “Labor/human Rights Contacts Allege Harassment, Possibly By Goi Agencies”,
dikawatkan dari Jakarta pada 2 September 2008, oleh perwira politik
kedutaan, Joseph L. Novak, merangkum isi pertemuan antara pihak kedutaan
dan Andreas pada 26 Agustus 2008. (Andreas digambarkan lebih jauh
sebagai seorang tokoh pergerakan demokrasi dan kebebasan pers di
era-Suharto dan juga sebagai penerima beasiswa ternama Nieman Fellow di
Harvard University).
Dalam
rangkuman atas laporan, Novak menulis: “Seorang penulis freelance
ternama Indonesia – dan seorang bekas fellow di Harvard – bilang ke
Labatt (Labour Attache, red. Islam Times) kalau dia percaya dia
sedang dalam intaian lembaga-lembaga intelejen pemerintah Indonesia.
Dia bilang kalau ini mungkin karena laporan investigasinya atas isu-isu
hak asasi manusia. Dia meminta USG (United Stated Goverment, red. Islam
Times) menyimpan rapat-rapat urusan ini sementara waktu agar tak
menambah besar perhatian atas dirinya. Kontak-kontak di organisasi buruh
juga membisikkan ke Labatt seputar apa yang mereka tuduhkan sebagai
pengintaian dan pelecehan oleh lembaga-lemabga intelijen. Jika akurat,
kasus-kasus ini mungkin terkait dengan meningkatnya kepekaan Pemerintah
Indonesia menjelang Pemilu 2009 ... .”
Telegram
lebih jauh juga menjelaskan hal yang melatari terjadinya briefing
Andreas pada pihak kedutaan. Kata telegram: Andreas mengirim sebuah
pesan ke organisasi hak asasi manusia di Amerika, yang memuat
kecemasannya, yang kemudian diteruskan oleh DRL (Departement of Right & Labour, red. Islam Times)
ke Labatt. Harsono bilang ke Labatt kalau pihak kedutaan maupun DRL
sebaiknya tak mengambil langkah apapun yang bisa mengundang perhatian
atas dirinya, dan pesan apapun yang mungkin kita sampaikan ke Pemerintah
Indonesia atas nama dirinya mungkin tak akan membantu. Dia bilang dia
tak begitu percaya kalau dirinya dalam bahaya meski dia sedikit cemas.
Kami berjanji untuk bertemu secara reguler untuk memonitor situasi.”
(Catatan
Islam Times: dari pemeriksaan arsip media Jakarta, Andreas pernah
diberitakan bekerja untuk Human Right Watch, organisasi pemantau hak
asasi berbasis New York. Dia juga belakangan sempat diberitakan sebagai
pihak awal yang ikut mempublikasi video sadis pembantaian orang-orang
Ahmadiyah di Banten ke situs YouTube.com yang kemudian memicu kehebohan
publik lalu kecaman dari Kementrian Luar Negeri Amerika yang menuding
minimnya perlindungan negara pada apa yang mereka sebut sebagai
kelompok-kelompok minoritas. Pada 5 September, Kantor Berita 68H sempat
mewawancarai Andreas, meminta komentarnya sekaitan apa yang mereka sebut
keyakinan FPI kalau dokumen WikiLeaks hanya ‘permainan’ kedutaan
Amerika. Andreas nampaknya belum sadar – atau mungkin pura-pura tidak
tahu – kalau namanya ikut menghiasi dokumen WikiLeaks. Soal terakhir
bisa dilihat di:
http://www.kbr68h.com/berita/wawancara/11813-andreas-harsono-buktikan-kedekatan-polisi-fpi-)
5. Agus Mantik, A.S. Kobalen, Made Erata, Gusti Widana
Keempat nama ini hanya sekali muncul dalam telegram, yakni telegram bertajuk “Hindus Lament "islamization" Of Indonesia”, dikawatkan oleh perwira politik kedutaan, Sanjay Ramesh, pada 1 Februari 2007: “Pada 24 Januari, Poloff (political officer, red. Islam Times)
menggelar pertemuan dengan beberapa pejabat Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI) termasuk pimpinannya Agus Mantik, Direktur Komunikasi
Internasional A.S. Kobalen, Kepala Pengurus Harian Made Erata, dan
Sekretaris Jenderal Gusti Widana. (Strictly Protect) ... .”
Dalam
rangkuman telegram, Ramesh menulis: “Beberapa pemimpin ternama Parisada
Hindu Dharma Indonesia (PDHI) bilang ke kami kalau komunitas Hindu
menghadapi peningkatan diskriminasi di tangan sebuah pemerintah dan
komunitas Muslim Indonesia yang gemar mengislamkan kalangan lain. Dalam
sebuah diskusi pada 24 Januari, mereka mengklaim kalau “Islamisasi
Indonesia” telah berujung pada sebuah peraturan pemerintah tentang
pembangunan tempat beribadah, yang telah diberlakukan dan mereka anggap
punya syarat-syarat yang berat bagi kelompok-kelompok agama minoritas
yang ingin membangun tempat ibadah yang baru. Bos-bos PHDI menuduh kalau
umat Hindu di Jawa yang ingin mendapatkan layanan publik, termasuk akte
lahir dan surat nikah, menghadapi diskriminasi yang menyeluruh. Bos-bos
PHDI bilang kalau nestapa umat Hindu hanya mendapat sedikit perhatian
mengingat komunitas Hindu tak punya dukungan internasional dan
sumber-sumber keuangan seperti halnya umat Kristiani ... .”
6. Georges Paclisanu
Nama Georges Paclisanu, bos besar Palang Merah Internasional, muncul dalam telegram bertajuk “Acehnese Villagers Exhuming Conflict Victims' Graves”, dikawatkan oleh perwira politik kedutaan, Stanley J. Harsha, pada 18 Oktober 2006.
“Orang-orang
desa di Aceh menggali kuburan mereka yang mati dibunuh dalam konflik
antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia, kata George
Paclisanu (strictly protect), Kepala Delegasi Parang Merah Internasional (ICRC), ke kami belum lama ini,” kata telegram.
Isi
telegram selebihnya menceritakan apa yang didengar dan dilihat sendiri
oleh Georges saat menyaksikan pembongkaran kubur itu dalam sebuah
kunjungan ke Aceh, plus penilaiannya atas dampak konflik di Aceh, sebuah
isyarat adanya pelanggaran janji ‘kenetralan’ dalam kerja ICRC di
Indonesia.
7. Wakil Indonesia dalam Komisi Kebenaran dan Persahabatan Timor Leste-Indonesia (CTF)
Dalam telegram bertajuk “East Timor/Indonesia Final Report Holds Goi Institutions Accountable”,
dikawatkan oleh perwira politik kedutaan, Joseph Legend Novak, pada 24
April 2008, seseorang yang digambarkan sebagai “wakil Indonesia” di CTF
menunjukkan ke seorang perwira politik kedutaan Excutive Summary laporan
final CTF pada 22 April.
Kata
telegram, laporan intinya menyebutkan kalau secara institusi,
Pemerintah Indonesia, bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi berat
di Timor Timur pada 1999. “Laporan menyebut personel militer, polisi dan
pejabat sipil yang berkontribusi pada kekerasan via kerjasama mereka
dengan milisi-milisi pro-integrasi.”
Telegram juga bilang: “Sumber orang Indonesia ini (strictly protect)
telah meminta kalau semua referensi yang bisa merujuk pada dirinya dan
fakta dari laporan yang kami lihat dirahasiakan mengingat laporan itu
belum beredar secara resmi di pihak pemerintah Indonesia dan Timor
Leste. Executive Summary dan naskah lengkap laporan final baru akan
diserahkan ke presiden masing-masing negara dalam beberapa hari ke
depan.”
8. Court Monitor
Court
Monitor adalah nama sebuah lembaga berbasis Indonesia yang menyediakan
jasa pengintaian dan pengamatan untuk Kedutaan Amerika. Ada sejumlah
telegram yang menggambarkan tentang sepak terjang lembaga ini, meski tak
ada satupun nama yang muncul tentang siapa sosok di baliknya.
Tapi sebuah telegram bertajuk “Terrorist Trials -- New Funding Needed For Court Monitor”,
dikawatkan oleh perwira politik kedutaan, Stan Harsha (kemungkinan ini
nama pendek Stanley R. Harsha, red. Islam Times), pada 28 November 2007,
dengan status RAHASIA, mungkin bisa memberi pengancar yang cukup. Dalam
rangkuman telegram, Stanley menulis: “Dalam dua tahun terakhir, sebuah
lembaga sewaan lokal, Court Monitor, telah menyediakan informasi
berharga sekaitan persidangan hampir semua teroris paling berbahaya
Indonesia. Di tengah kondisi kas yang menipis, Kedutaan meminta
pendanaan baru dari Departemen (Luar Negeri, red. Islam Times) agar
hubungan produktif ini bisa berlanjut. Dengan dukungan dana Tahun
Anggaran 2005, Court Monitor telah mengamati dan secara rahasia
melaporkan ke kami persidangan lebih dari 75 teroris, umumnya terkait
jaringan teror Jamaah Islamiyah, dan menyediakan ke kami salinan dokumen
pengadilan yang biasanya tak bisa diperoleh. Monitor juga telah membina
hubungan dengan pihak pengacara yang tergabung dalam Tim Pembela Muslim
(TPM), yang kemudian menjadi sumber informasi tambahan. Monitor adalah
aset berharga dalam upaya counter-terorisme Kedutaan di Indonesia, dan
sebab itu menjadi penting menjaga keberlanjutannya.”
Isi
telegram memberi gambaran lebih dalam soal Court Monitor. Telegram
menggambarkan tokoh utama dalam Court Monitor adalah “seorang perempuan”
yang secara rutin menyediakan ke pihak Kedutaan informasi sekaitan
dakwaan atas terdangka kasus-kasus terorisme, kualitas dakwaan, dan
strategi tim pengacara yang terlibat. Perempuan ini – disebutkan juga
digambarkan menyerahkan seabrek dokumen, termasuk dokumen dakwaan,
replik, duplik, dan putusan pengadilan, sesuatu yang membuat Kedutaan
punya “otoritas” dalam melaporkan jalannya persidangan.
Telegram
juga bilang kalau hubungan sang perempuan pemilik Court Monitor dan
Kedutaan “so sensitif” hingga tak dipublikasi dan identitasnya “strictly
protected”. Informasi lain menggambarkan dia sebagai “perempuan
Indonesia yang mampu berbahasa Inggris, punya latar belakangan hukum dan
kehadirannya di banyak persidangan kasus terorisme menjadi leluasa dan
tak mengundang perhatian sebab dia menggunakan jubah “penelitian hukum”,
dan sebab itu pula kaitannya dengan Kedutaan tak terungkap. Telegram
juga bilang kemampuan sang perempuan melakukan semua itu “sangat
penting”, menghilangkan relevansi kedutaan mengirim orang ke persidangan
yang justru bisa “memperkuat kredibilitas tim pengacara terdakwa
terorisme”.
Telegram
juga bilang kalau Kedutaan meminta pendanaan tambahan US$ 20.000 untuk
“membina hubungan” dengan Court Monitor hingga dua tahun setelahnya.
Kata telegram, angka itu adalah “investasi murah” untuk hasil yang
“substansial”.
Dalam
telegram lain, kedutaan menggambarkan perempuan pemilik Court Monitor
bisa mengakses ‘pertahanan terdalam’ TPM, termasuk pembicaraan rahasia
antara TPM dan para terdakwa yang mereka dampingi, tanpa identitasnya
sebagai kontraktor untuk Kedutaan pernah terbongkar. Sang karyawan
kontraktor juga disebutkan melaporkan banyak kerjasama dan kendala pihak
kejaksaan dan Datasemen 88 dalam persiapan dakwaan atas para terdakwa
kasus terorisme, kelemahan-kelemahan tim pengacara terdakwa.
(Catatan
Islam Times: Islam Times sejauh ini tak menemukan ada referensi di
media Jakarta soal Court Monitor sama sekali. Di sisi lain, sukar pula
untuk membayangkan cerita yang hendak dibangun pihak kedutaan kalau
seorang perempuan tangguh bisa mengikuti banyak persidangan kasus-kasus
terorisme yang kerap berlangsung di hari yang sama di provinsi yang
terpisah jauh. Ini kemudian membuka peluang hipotesa kalau Court Monitor
bisa jadi adalah sebuah lembaga yang melibatkan banyak kepala dengan
sang perempuan cakap berbahasa Inggris itu sebagai pimpinannya. Sekaitan
dengan itu, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah reporter kami
mendengar kalau Sydney Jones, peneliti Internasional Crisis Group, telah
merekrut dan memperkerjakan wartawan dalam jumlah yang tak diketahui
untuk mengumpulkan dokumen persidangan kasus-kasus terorisme, kurang
lebih seperti gambaran kegiatan Court Monitor dalam kawat diplomat
Amerika. Sydney cukup fasih berbahasa Indonesia meski, harus kami
sebutkan, dia bukan warga negara Indonesia. Beberapa reporter kami juga
mendengar kalau beberapa wartawan dan peneliti yang bekerja untuk dia
cukup lihai untuk membangun kedekatan dan koneksi dengan kubu TPM. Dari
pemeriksaan dokumen WikiLeaks, Islam Times tidak ada atribusi “strictly
protect” dalam sejumlah telegram yang di dalamnya menyebut Sydney Jones.
Namun, dalam beberapa telegram yang lain, ada atribusi “Please Protect”
untuk Sydney Jones.)
Berikut adalah sejumlah orang dan lembaga yang dalam telegram kedutaan mendapat predikat “Please Protect”:
1. Sydney Jones
Dalam sebuah telegram bertajuk “With Death Of Key Terrorist Confirmed, Police Continue Full-court Press”,
dikawatkan dari Jakarta pada 23 September 2009 oleh perwira politik
kedutaan, Joseph L. Novak, disebutkan: “Banyak ahli konterterorisme
telah berspekulasi ihwal siapa yang bisa mengambil alih pucuk pimpinan
organisasi pecahan JI. Penasihat Senior International Crisis Group (ICG) Sidney Jones (Amcit—please protect)
berspekulasi bahwa seorang teroris bernama Reno (hanya satu nama) bisa
jadi mengambilalih pucuk pimpinan organisasi pecahan, kendati dia dengan
cepat bilang bahwa JI tak perlu struktur pimpinan formal untuk
menggelar operasi ... .”
(Catatan
Islam Times: atribusi Please Protect juga melekat pada nama Sydney
Jones dalam sedikitnya lima telegram lain bertema penungkapan kasus
“terorisme”.)
2. Kontak di Indonesia Corruption Watch (ICW)
Sebuah telegram bertajuk “Scrutiny Of Bank Century Bailout Iccreases”,
dikawatkan dari Jakarta pada 6 November 2009, langsung oleh Duta Besar
Cameron Hume, menyebutkan: “Seorang informan Kedutaan yang terpercaya di
Indonesia Corruption Watch (PLEASE PROTECT) bilang ke kami
kalau dia mengetahui bahwa dana-dana Bank Century telah digunakan untuk
membiayai kampanye pemilihan ulang Presiden Yudhoyono. Dia percaya kalau
informasi itu kredibel ... .” (Catatan Islam Times: penulisan huruf
kapilita “Please Protect” hanya tercantum dalam telegram ini dari 3.059
telegram yang berasal dari Kedutaan Amerika di Jakarta di situs
WikiLeaks sejauh ini).
3. Henry Durant Centre for Humanitarian Dialogue
Sebuah telegram bertajuk “Papua -- Tentative New Efforts To Address Grievances”,
dikawatkan dari Jakarta pada 6 Maret 2009, membahas penilaian diplomat
Amerika atas The Papua Roadmap besutan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Di salah satu bagian telegram tertera keterangan: “para
pejabat LIPI terus membangun dukungan untuk Roadmap dalam pemerintahan
dan telah mencari masukan dari Henry Durant Centre for Humanitarian Dialogue yang berbasis di Jenewa (please protect).”
4. David Cohen
Dalam telegram bertajuk “Human Rights -- Encouraging Indonesia To Implement Truth Commission Report”,
dikawatkan dari Jakarta pada 20 Oktober 2008, perwira politik kedutaan,
Joseph L. Novak, menyebutkan kalau dalam sebuah pertemuan, seorang
warga Amerika yang bekerja sebagai penasihat untuk Komisi Kebenaran dan
Persahabatan Indonesia-Timor Leste (CTF) telah mengungkap sejumlah cara
“mempercepat implementasi rekomendasi CTF untuk reformasi sektor
keamanan di Indonesia via pendidikan hak asasi”. Sang penasihat itu juga
menyarankan kalangan LSM melapangkan jalan dengan gencar mempublikasi
laporan CTF, agar kesimpulan tentang pelanggaran hak asasi di Timor
Timur dan perlunya reformasi bisa diketahui orang banyak. Telegram
menggambarkan lebih jauh tentang sang penasihat: “David Cohen (AmCit – please protect), Direktur Barkeley War Crimes Studies Center di University of California, membriefing DepPol/C pada 10 Oktober sekaitan kemajuan implementasi laporan CTF, disebarkan untuk umum pada 15 Juli. (Catatan:
Cohen saat ini adalah seorang konsultan bagi pemerintah Indonesia dan
Sekretaris ASEAN, di luar pekerjaannya di Berkeley ... .”
5. Komunitas Yahudi Surabaya
Dalam sebuah telegram bertajuk “Special Envoy Rickman Meets With Jewish Community In Surabaya”,
dikawatkan dari Jakarta pada 7 Augustus 2008, Principal Officer
Konsulat Amerika di Surabaya, Caryn R. McClelland, menuliskan ikhtisar
berikut: “Utusan Khusus untuk Pengamatan & Perlawanan Anti
Semitisme, Gregg Rickman, berkunjung ke Surabaya pada 30 Juli 2008, usai
mampir di Jakarta. Rickman, ditemani Karen Paikin, dari Kantor
Pengamatan dan Perlawanan Anti-Semitisme, dan Yakov Barouch, seorang
Rabbi yang tinggal di Jakarta, berkunjung ke synagogue, satu dari hanya
dua di Indonesia, dan sebuah pekuburan Yahudi, dan bertemu dengan
anggota komunitas Yahudi, yang jumlahnya kurang dari 20 orang.”
Telegram
lalu menjelaskan lagi: “Sinagog di Surabaya, awalnya sebuah rumah dan
kantor dari seorang dokter warga negara Belanda, telah berfungsi sebagai
sinagog sejak 1939. Tak ada pengamanan kcuali sebuah pagar besi rendah
yang membalut bangunan. Anggota Keluarga Sayur bertindak sebagai
pengurus sinagog dan tinggal di sebuah rumah yang bertetanggaan ...
Joseph Sayer dan istrinya Rivka tinggal di sana dengan seorang anak
perempuan, Hanna, dan seorang cucu (please protect). Dua cucu
lainnya saat ini sedang belajar di luar negeri: satu di Inggris dan satu
di Amerika. Keluarga Sayer memegang paspor Belanda, tapi menetap di
Indonesia seumur hidup mereka.
“...Rickman
juga menemui Helen Nasim (please protect) di kediamannya. Dia punya
seorang putra dan seorang cucu. Dia mengungkapkan pesimisme seputar
peluang keluarganya tetap di Indonesia, dan bilang kalau dia selalu
berusaha merahasiakan identitas keyahudiannya ... .”
7. Doug Ramage
Dalam sebuah telegram bertajuk “Major Political Party Under Pressure”, dikawatkan dari Jakarta pada 16 Juli 2008, diplomat Amerika di Jakarta menuliskan: “ ... Doug Ramage (AmCit--please protect),
pimpinan Asia Foundation Office di Jakarta, bilang ke kami belum lama
ini kalau “Golkar tak memproyeksikan sebuah citra bahwa ia siap
menyelesaikan persoalan-persoalan yang ditanggung rata-rata orang.” ...
.”
8.Arief Budiman
Diplomat
Amerika menggambarkan Arief sebagai “asisten” Ketua DPR Agung Laksono.
Beberapa telegram menunjukkan kalau dari Arief lah kalangan diplomat
Amerika bisa mengetahui langkah-langkah Agung dalam membina hubungan
dengan kalangan parlemen di Iran. Dari sumber yang sama pula, diplomat
Amerika bisa mendengar lebih awal tentang langkah-langkah politik
pilihan pemerintah sekaitan program pembangkit nuklir Iran yang
ditentang habis-habisan oleh Amerika, tentang hal-hal yang dikerjakan
Presiden Yudhoyono kala berkunjung ke Tehran dan apa saja isi
pembicaraan antara Agung dan Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, saat
yang terakhir berkunjung ke Jakarta. Di telegram lainnya, diplomat
Amerika menggambarkan Agung sebagai sudah lama bersimpati pada Iran.
9. Michael Vatikiotis
Dalam
sebuah telegram tertanggal 31 Oktober 2007, diplomat Amerika di Jakarta
menggambarkan pertemuan mereka dengan Michael Vatikiotis, Direktur
Regional Henry Dumont Centre for Humanitarian Dialogue, sehari
sebelumnya. Subjek diskusi adalah politik Myanmar. Kata telegram:
“Vatikiotis, (please protect), yang berbasis di Singapura,
rutin dan very lucid interlocutor dalam sejumlah isu resolusi konflik,
termasuk di Timur Tengah.” Telegram lebih jauh menyebutkan gagasan
Vatikiotis seputar diplomasi di Myanmar dan bilang kalau pandangannya
saat pertemuan “tidak sepenuhnya menggambarkan pandangan pemerintah
Indonesia.”
10. Edwin Gerungan
Sebuah
telegram sekaitan langkah Bank Mandiri membekukan rekening perusahaan
Korea Utara menyebut nama Edwin Gerungan. Dalam telegram bertajuk “Bank Mandiri Closes Dprk Accounts”, dikawatkan pada 14 Agustus, disebutkan: “Pimpinan Board of Commissioners di Bank Mandiri Indonesia, Edwin Gerungan (please protect),
bilang ke kedutaan pada 9 Agustus kalau Mandiri telah menghentikan
hubungan dengan dua bank Korea Utara pada Juli: Korea Daesong Bank dan
Foreign Trade Bank ... .”
12. Dr. Djaloeis
Dalam
rangkuman telegram bertajuk “Political Intrigue Imperils Bapeten's
Chairman Job”, dikawatkan pada 28 Mei 2004, tercantum keterangan:
Pimpinan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETAN) Dr. Djaloeis (please protect)
mengungkapkan ke kami pada 25 Juli bahwa sebuah intrik politik yang
melibatkan salah seorang deputinya dan Menteri Riset dan Teknologi Hatta
Rajasa, dan sebuah kelompok radikal yang sebelumnya tak diketahui dan
bernama Tharbyah kemungkinan mengancam posisinya.” Djaloies, kata
telegram, juga mengungkapkan kalau sebuah surat yang memuat
pencapaiannya dan rencana-rencananya untuk Bapeten di masa datang
berhasil meyakinkan Presiden Megawati untuk memperpanjang masa
jabatannya lebih dari usia pensiun pegawai negeri umumnya, yakni 60
tahun.
* * *
Di Jakarta hari-hari ini, orang-orang yang berstatus “strictly protect” dan “please protect”
di dalam dokumen WikiLeaks mungkin masih bisa sedikit tenang.
Pemerintahan Presiden Susilo sejauh ini memilih ‘menganggap sepi’ semua
bocoran WikiLeaks, mungkin sebab banyak di antaranya bercerita tentang
rumor miring keluarga presiden, mungkin pula sebab membicarakan dokumen
sama saja ‘mengamputasi’ diri sendiri, di tengah fakta banyaknya
telegram yang memuat cerita kontak rutin hampir semua kalangan, dari
politisi, pejabat, polisi, tentara, birokrat, pegiat media dan LSM,
dengan kalangan diplomat Amerika (bagian ini bakal menjadi subjek
pembahasan Islam Times berikutnya).
Sementara
itu, media-media nasional, besar maupun kecil, nampaknya memilih
menggunakan ‘kaca mata kuda’; seperti sengaja hanya memfokuskan
pemberitaan pada informasi ‘percintaan gelap’ FPI-Polisi-Intelijen plus
soal kasus pembunan Munir dalam dokumen WikiLeaks dan melupakan puluhan
ribu dokumen lainnya yang notabene menawarkan kontroversi dan keaktualan
yang tinggi -- dan semua ini otomatis menjadikan publik buta dari
kebenaran.
Di
sisi lain, pihak Kedutaan Amerika di Jakarta – sejauh ini memilih tak
mengomentari apapun sekaitan dokumen di WikiLeaks– mungkin pula telah
menghubungi para penyandang status “strictly protect” untuk
meminta ‘permakluman’, meredam ‘kekagetan’ dengan harapnya bisa tetap
mendapatkan ‘loyalitas’ dari pihak yang telah mereka sedot informasinya.
Tapi
dokumen WikiLeaks adalah gulungan kawat rahasia yang kini bebas diakses
siapa saja. Cepat atau lambat, mata orang banyak bakal terbuka. Kini,
di hadapan penguasa Jakarta, ada peluang emas, kesempatan besar untuk
menunjukkan moral tinggi bangsa. Mereka hanya perlu merangkul kembali
anak-anak mereka yang telah terpedaya oleh ‘kedigdayaan’ dan mulut manis
para diplomat Amerika di Jakarta. Siapa tahu dari situ kita semua bisa
melihat sisi-sisi lain laku diplomat Amerika yang tak terekam dalam
gulungan kawat WikiLeaks.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar